Oleh : Drs. Osberth Sinaga, M.Si
Siapa yang tidak bangga kalau setiap tahun ada laporan atau berita yang mengatakan siswa dari Indonesia meraih medali emas dari Olimpiade Fisika, Olimpiade Matematika, Olimpiade Biologi, dan Kimia internasional?
Siapa yang tidak bangga mendengar berita pada tahun 1992 yang lalu Susi Susanti dan Alan Budikusuma yang merupakan suku Tionghoa meraih medali emas dari olimpiade Barcelona yang mengibarkan bendera merah putih di negara Spanyol serta disaksikan dunia kala itu?
Tetapi ada yang sangat kontras, siapa yang mau bangga mendengar kerusuhan di Temanggung ada tiga gereja dan beberapa mobil dirusak oleh massa hanya karena vonis Antonius Bawengan hanya lima tahun dengan tuduhan penistaan agama? Siapa lagi yang mau bangga mendengar jemaah Ahmadyah Indonesia (JAI) diserang oleh sekelompok massa dan mengakibatkan tiga orang tewas di Propinsi Banten. Setidaknya dua pernyataan di atas bisa membuka ruang berpikir kita untuk bisa mengakhiri kekerasan sebagai bentuk dari budaya barbarisme.
Kita hidup dalam suasana arus globalisasi. Ini jaman bukan lagi menonjolkan otot. Kalaupun bangsa kita adalah bangsa yang menonjolkan otot, mengapa dari negara ini tidak ada yang bisa mengalahkan Oscar De La Hoya, Mike Tyson, Many Pacquino dari Filippina. Padahal jika salah satu saja dari 235,4 juta penduduka negara ini (data BPS tahun 2011) mengalahkan mereka akan menjadi berita dunia dan bendera merah putih akan berkibar dengan gagahnya.
Globalisasi yang menuntut kompetisi rasio harus kita waspadai. Kita tidak bisa menolak dan bagaimana menghadapinya tentu dengan pendekatan SDM. Semakin rendah SDM kita maka bangsa ini akan menjadi budak di era globalisasi ekonomi. Maukah kita menjadi bangsa budak di tengah era informatika ini? Kalau tidak mari belajar dan bekerja dengan keras lagi. Jangan lagi beri ruang pada kekerasan. Jangan lagi kita berpikir dengan kekerasan. Kekerasan harus diakhiri dengan sesuatu yang baru, misalnya dengan prestasi. Bagaimana membangun prestasi yang bisa mengangkat harga diri kita dan bangsa adalah sesuatu yang harus dilakukan.
Apakah kita mampu untuk itu? Mampu asalkan ada kemauan dan komitmen yang tinggi dari kita semua. Kita sangat sedih, masyarakat yang seharusnya sopan untuk ukuran Timur seperti yang kita klaim selama ini melakukan tindakan kekerasan sebagai bentuk kemunduran peradaban. Tidakkah kita bisa mengakhiri kekerasan ini karena kekerasan adalah tindakan yang sangat memalukan. Apa salah Gereja harus dibakar? Apakah Gereja itu mampu berkata-kata? Tentu tidak. Kalau pun Jamaah Ahmadyah Indonesia melakukan ritual ibadah mengapa harus diganggu padahal dalam UUD 1945 ada kebebasan untuk beragama.
Tindakan mereka tidak merugikan kita dan apa yang mereka lakukan tidak mengganggu kepentingan umum. Kalau pun ada doktrin agama yang berbeda seharusnya diselesaikan dengan dialog, diskusi dan ada solusi yang mengedepankan kesantunan dan bukan dengan kekerasan. Bagaimana mengakhiri kekerasan ini tentu perlu sikap yang berorientasi kedepan dan demi kemajuan bangsa ini. Malu rasanya di dunia internasional kita dicap sebagai bangsa yang senang dengan kekerasan hanya karena masalah di beberapa tempat.
Terlepas daripada itu, para psikolog dan peneliti tingkah laku, sejak beberapa dekade terus meneliti fenomena kekerasan dan kejahatan pada manusia. Terutama hendak dicari akar dari berbagai aksi kekerasan dan kejahatan. Serta tentu saja mekanisme untuk mencegahnya. Manusia seolah ditakdirkan tidak pernah lepas dari aksi kekerasan dan kejahatan. Buktinya, setiap hari kita selalu dijejali berita mengenai tindak kekerasan dan kejahatan. Mulai dari aksi terorisme, penyiksaan tahanan, pembantaian massal sampai penculikan dan pembunuhan. Film maupun berita yang sarat kekerasan, terutama di televisi ternyata memiliki rating tinggi. Apa yang salah dengan manusia, yang selalu mengaku sebagai makhluk paling beradab, bermoral dan sopan-santun itu?
Salah satu kesimpulan yang ditarik dalam penelitian adalah, komponen untuk merusak merupakan bagian alami dari manusia. Memang kedengarannya kesimpulan ini merupakan hal yang bertentangan dengan ajaran agama manapun. Dalam penelitiannya selama bertahun-tahun, psikolog paling terkemuka di dunia saat ini, Prof. Roy Baumeister dari Universitas Florida di Tallahassee menyimpulkan empat akar penyebab kekerasan. Yakni kekerasan atau kejahatan sebagai cara mencapai tujuan, sadisme, terlukanya harga diri serta kekerasan berlandaskan agama atau ideologi.
Menghalalkan Segala Cara
Semua pasti mengenal kekerasan sebagai cara mencapai tujuan. Aksinya dimulai dengan ketidakpedulian terhadap orang lain, dalam menerapkan kepentingan sendiri. Puncaknya, dapat berupa perampokan dengan pembunuhan atau pembantaian. Contoh paling tegas, misalnya pasukan Mongol di bawah pimpinan Jenghis Khan, yang menerapkan cara bantai dan bumi hanguskan. Dalam hal ini, pasukan Mongol sebetulnya tidak haus darah, tapi hanya bersikap praktis, untuk memberikan efek kejutan yang mengerikan kepada kawasan berikutnya yang akan ditaklukan. Berbeda dengan rezim NAZI Jerman yang memang haus darah, dan secara sistematis membantai sekitar 6 juta warga Yahudi dan sejuta warga Sinti dan Roma.
Dalam sejarah setelah perang dunia kedua, kekerasan untuk mencapai tujuan masih terus diterapkan. Baik secara kasar oleh diktator di negara dunia ketiga, maupun secara halus oleh para penguasa dunia yang menyatakan diri demokratis. Artinya, kekerasan untuk mencapai keuntungan bagi diri sendiri maupun kelompok, sejak zaman purba hingga zaman modern terus diterapkan dalam perebutan kekuasaan. Di sisi lain, dalam skala kecil, kekerasan dan kejahatan untuk mencapai tujuan, merupakan berita sehari-hari dalam media massa. Manusia ternyata dapat cepat beradaptasi, dari kelompok yang cinta damai menjadi pelaku kekerasan dan kejahatan.
Kita harus mengatakan the end of kekerasan kalau kita ingin eksis. Marilah kita menempatkan bentuk dialog dalam mengatasi berbagai perbedaan dan permasalahan yang ada. Dengan adanya dialog dengan sikap terbuka, jujur, transparan maka akan bisa dicari kesepakatan sebagai solusi dari masalah yang ada. Bukan jamannya lagi menonjolkan otot di negara ini. Mari kita tunjukkan rasio yang berakhlak dan berkepribadian untuk menyelesaikan masalah. Kejadian Temanggung dan Ahmadyah Banten harus diakhiri dan jangan terulang lagi. Dengan mengatakan the end of kekerasan maka bangsa ini akan bisa menjadi bangsa yang besar. Kita punya potensi untuk itu.***
Penulis adalah Dosen FIS UNIMED Medan dan Ketua PKMI I Medan/Ketua Toga Sinaga Sedunia dan ketua Umum ISDA se-Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Trik Mempercepat Koneksi Internet tanpa Bantuan Software
Pengguna Internet di dunia saat ini berkembang pesat seiring dengan lajunya jaman modern, kemunculan inovasi baru dalam dunia IT cukup memp...
-
PERNAHKAH Anda melihat video tutorial di Youtube, semisal video tutorial pemprograman, tutorial grafis, tutorial hacking, dan video tutor...
-
“Jangan pernah takut untuk bermimpi!” Begitu orang bijak pernah mengungkapkan. Ya, tak ada yang perlu ditakutkan dari sebuah mimpi, karena h...
-
Berikut sharing tentang tools seo, software seo, tune up seo, tuneup seo, download gratis seo, download gratis tools seo, free seo, tutoria...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar